Adhi M Massardi (www.opiniindonesia.com) |
BERITA MERANTI Jakarta — Simpang siurnya 61 surat izin pemeriksaan kepala daerah yang dikirimkan Kejaksaan Agung ke Istana, guna meminta restu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bukan perkara sederhana. Persoalan ini bukan semata terkait mekanisme administrasi di kedua lembaga negara tersebut. Hal itu dikatakan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi di Jakarta, Kamis (14/4/2011).
Adhie, mantan juru bicara presiden era Gus Dur, yakin pernyataan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Noor Rachmad, yang mengatakan bahwa ada 61 kepala daerah yang belum turun izin pemeriksaannya dari Presiden (SBY) sejak 2005 sampai tahun 2011, baik sebagai saksi maupun tersangka, adalah benar.
"Tidak mungkin orang sekelas Noor Rachmad mau membenturkan kepalanya sendiri ke tembok dengan melempar tanggung jawab (penegakan hukum) langsung ke Presiden. Saya juga yakin, sesuai dengan fatsun yang berlaku di instansi pemerintah, sebelum bicara kepada wartawan, Noor Rachmad pasti sudah izin bosnya, Jaksa Agung," ungkap Adhie.
Itu sebabnya, menurut Adhie, aktivis antikorupsi tidak percaya pada keterangan Istana, baik yang disampaikan Sekretaris Kabinet Dipo Alam maupun Presiden Yudhoyono, yang mangaku tidak pernah menerima (61 surat) permohonan izin dari Kejagung.
"Makanya, untuk membongkar siapa yang bohong, Istana atau Kejagung, Komisi III DPR harus proaktif, segera masuk ke misteri 61 surat itu. Tetapi, karena ini menyangkut penegakan hukum langsung di lapangan, DPR tidak boleh lagi main-main," katanya.
Seperti diberitakan, setelah Kapuspenkum Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengungkapkan belum turunnya izin pemeriksaan terhadap 61 kepala daerah, Sekretaris Kabinet Dipo Alam membantahnya.
"Saat ini, tidak ada satu pun permohonan izin pemeriksaan pejabat negara dari Jaksa Agung dan Kapolri yang berada di meja Presiden. Dalam praktiknya selama ini, dalam 2 atau 3 hari permohonan izin pemeriksaan pejabat negara yang dilaporkan oleh Sekretaris Kabinet sudah ditandatangani oleh Presiden. Presiden tetap pada kebijakan dan komitmen penegakan hukum yang sama di hadapan hukum, tidak ada diskriminasi, utamanya dalam upaya pemberantasan korupsi. Maka, terkait persetujuan Presiden, senantiasa diberikan jika telah lengkap datanya dan sesuai prosedurnya," kata Dipo di Jakarta, Senin (11/4/2011).
Dipo menegaskan, pertimbangan lain di luar fakta dan bukti hukum tidak pernah dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan pemberian persetujuan Presiden. Keanggotaan partai politik pun sama sekali tidak dijadikan alasan untuk tidak memberikan persetujuan pemeriksaan.
Sebelumnya, seperti diwartakan, Kejaksaan Agung mencatat, sejak tahun 2005, sebanyak 61 kepala daerah tidak dapat diperiksa sebagai tersangka atau saksi kasus dugaan korupsi karena tidak juga mendapatkan izin dari Presiden. Kejagung berpendapat bahwa izin dari Presiden harus diperoleh sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.
"Sekitar 61 kepala daerah selama 2005-2011 izin pemeriksaannya dari Presiden belum turun," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad, Kamis (7/4/2011) di Jakarta.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemeriksaan kepala daerah harus mendapatkan izin Presiden. Ada sejumlah faktor mengapa turunnya izin pemeriksaan kepala daerah umumnya agak lama, salah satunya adalah karena berkas perkara sering bolak-balik antara Sekretaris Kabinet dan penyidik Kejagung. Hal itu terjadi karena sebelum disampaikan ke Presiden, Sekretaris Kabinet harus memastikan bahwa pemaparan perkara sudah detail dan didukung alat bukti cukup.
"Saya yakin kalau sudah di meja Presiden, itu tinggal tanda tangan," ujar Noor.
Noor mengatakan, berdasarkan Pasal 36 UU No 32/2004, memang memungkinkan jika dalam waktu 2 x 30 hari sejak berkas dikirim izin presiden tidak turun, penyidik bisa langsung memeriksa kepala daerah. Namun, Noor khawatir, ketiadaan izin presiden akan dipermasalahkan di persidangan.
Izin pemeriksaan yang belum turun, di antaranya, terhadap Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak yang dinyatakan tersangka korupsi sejak Juli 2010. Terakhir, berkas Awang dikirim kembali oleh Kejagung pada Desember 2010.