Patung Bapak Kepolisian RI Jenderal Raden
Said Soekanto Tjokrodiatmodjo di depan Museum POLRI di Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan.
Koranriau.com, Lipsus - Pada 29 September 1945,
Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo mendapat perintah
langsung dari Presiden Soekarno untuk membentuk Polisi Nasional.
Segeralah Soekanto membentuk 11 kepolisian provinsi dan membangun gedung
Jawatan Kepolisian Negara di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, yang kini menjadi Markas Besar (Mabes) Polri. Kala itu, 17
Maret 1952, peletakan batu pertama gedung Mabes Polri dilaksanakan oleh
Presiden Soekarno.
Sebagai
kapolri pertama, Soekanto banyak meletakkan dasar untuk kepolisan RI,
termasuk merintis Resimen Pelopor, Polisi Air dan Udara serta Polisi
Perintis, Polisi Kereta Api, Polisi Wanita. Soekanto juga yang membuat
Tri Brata Polri.
Namun,
sama-sama di bulan September, apa yang terjadi setelah 68 tahun
kemudian? Ternyata Polri dinyatakan sebagai lembaga negara terkorup di
Indonesia. Disusul parlemen, dan pengadilan. “Korupsi paling tinggi
terjadi di kepolisian, nomor dua di parlemen, dan nomor tiga di
pengadilan,” kata Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan
Pandu Praja, saat memberikan ceramah Political Corruption di depan 150
pegawai dan pejabat KPU di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin
(16/9) kemarin.
Adnan
mengatakan, terdapat perubahan tren lembaga terkorup pada periode
2012-2013 dibandingkan rentang 2010-2011. Sejak tahun lalu, lembaga
kepolisian menjadi lembaga terkorup. Sementara pada dua tahun silam,
parlemen menjadi lembaga terkorup. Sementara tiga lembaga yang menjadi
sarang koruptor terbanyak pada tahun 2009 adalah parlemen, pengadilan,
dan partai politik.
Citra
Polri yang seburuk itu seolah menafikkan keteladan Kapolri pertama
Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, yang namanya kini diabadikan
sebagai nama Rumah Sakit Polri di bilangan Kramatjati, Jakarta Timur.
Banyak orang yang kerap salah mengartikan “RS Polri Soekanto” sebagai
“Rumah Sakit Polri Soekanto”, padahal “RS” adalah inisial dari nama
beliau, Raden Said. Selain itu, patung Bapak Kepolisian RI Jenderal
Polisi RS Soekanto juga dibangun dan diletakkan di depan Museum Polri
yang lokasinya berdekatan dengan gedung Mabes Polri.
Di
masa kepemimpinannya, Soekanto (lahir Bogor, 7 Juni 1908 dan wafat di
Jakarta, 24 Agustus 1993) adalah seorang Kapolri yang jujur dan
sederhana. Dia tak mau memanfaatkan jabatannya untuk meraup keuntungan
bagi pribadi dan keluarganya. Bahkan sampai akhir hayatnya, Soekanto
hanya memiliki sebuah rumah sederhana di Kompleks Polri Ragunan, Pasar
Minggu, Jakarta Selatan. Ketika pensiun, Soekanto bahkan tinggal di
rumah sewa di Jl Pegangsaan Timur No 43, Jakarta Pusat.
Jujur
dan sederhana adalah dua kata yang sulit dibayangkan melekat pada
jajaran kepolisian saat ini. Meskipun, yakin saja, masih banyak korps
Bhayangkara teladan, beretika, jujur, bekerja tanpa pamrih dan sederhana
namun tak terekspose. Sebaliknya, kasus menggegerkan korupsi simulator
SIM, problem rekening gendut sejumlah perwira polisi, atau seperti
kehebohan di youtube soal polisi Bali yang memalak turis Belanda justru
menjadi trending topics yang menggerus nama baik Polri.
Polisi
yang berperilaku korup memang telah lama ada. Bahkan mantan Kapolri
kesebelas Jenderal Polisi Drs Kunarto dalam bukunya “Etika Kepolisian”
(1997) menukil catatan kriminolog UI Adrianus Meliala yang menyatakan
bahwa, kepercayaan masyarakat terhadap Polri sebenarnya tidak cukup
tinggi. Sinisme bahkan kecaman dan sarkasme banyak dilontarkan;
istilah-istilah seperti prit goceng, hama wereng coklat, manuk bondol,
KUHP=kasih uang habis perkara, hilang kambing lapor Polisi bisa hilang
kandang dan seterusnya, merupakan manifestasi kecaman atau citra buruk
Polri.
Tak
berlebihan pula apabila di masa jabatannya, Kunarto sempat berharap
agar setiap individu Polisi dapat mewujudkan satu ikrar: Tekadku
Pengabdian Terbaik. Ikrar ini dimaksudkan menjadi kaul seorang Polisi,
agar dirinya terbebas dari perbuatan tidak baik dan sebaliknya sanggup
bekerja keras, sepenuhnya pemikiran itu bermuatan etika, yang apabila
dilaksanakan dapat melahirkan perbuatan nyata yang selalu etis sifatnya.
Adapun tiga unsur pokok pedoman mewujudkan ikrar tersebut adalah: Lebih
Mengutamakan Kepentingan Dinas; Rela Berkorban Untuk Kepentingan Dinas;
dan, Tidak Mengharapkan Pamrih Imbalan Pujian dan Penghargaan.
Ironisnya,
berbagai kebijakan baru atau meneruskan kebijakan lama yang pernah
digariskan para mantan Kapolri, hingga kini masih belum melahirkan korps
Bhayangkara yang ideal dan sesuai harapan masyarakat. Padahal, harapan
itu wajar dan sederhana saja, yakni menginginkan Polisi menjadi pengayom
dan pelindung masyarakat. Selain itu, apabila harus berurusan dengan
kepolisian, masyarakat berharap dapat memperoleh pelayanan yang terbaik.
Kini,
semua yang menyangkut harapan masyarakat itu sudah hampir menguap.
Polisi jujur dan sederhana semakin jarang ditemukan, rasa aman
masyarakat pun kian terusik bahkan hilang sama sekali lantaran
belakangan ini justru aparat Polisi yang menjadi target korban komplotan
penembak yang hingga kini masih dalam penyelidikan.
Alhasil,
kita ingat kembali apa yang pernah disampaikan almarhum KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur). Katanya, “Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur,
yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng (mantan Kapolri kelima,
Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso - red)”.
Soal
kejujuran, siapa tidak kenal Hoegeng? Dia dikenal sebagai Polisi paling
jujur dan teladan antikorupsi hingga saat ini. Hoegeng Imam Santoso
lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921. Dia menjadi Kapolri 9
Mei 1968 hingga 2 Oktober 1971. Banyak hal yang dilakukan Hoegeng untuk
membenahi kepolisian. Walau hanya menjabat tiga tahun, Hoegeng
menorehkan banyak teladan.
Hoegeng
selalu menolak bentuk gratifikasi. Semasa di medan dia membuang semua
barang pemberian bandar judi. Saat menjadi kepala bea cukai, Hoegeng
membersihkan semua suap dan sogokan. Dia sampai menyuruh istrinya
menutup toko bunga agar tak digunakan orang-orang mendekati dirinya. (merdeka.com)
Hoegeng
memang seorang yang sederhana, ia mengajarkan pada istri dan
anak-anaknya arti disiplin dan kejujuran. Semua keluarga dilarang untuk
menggunakan berbagai fasilitas sebagai anak seorang Kapolri. “Bahkan
anak-anak tak berani untuk meminta sebuah sepeda pun,” kata sang istri,
Merry Roeslani.
Aditya,
salah seorang putra Hoegeng bercerita, ketika sebuah perusahaan motor
merek Lambretta mengirimkan dua buah motor, sang ayah segera meminta
ajudannya untuk mengembalikan barang pemberian itu. “Padahal saya yang
waktu itu masih muda sangat menginginkannya,” kenangnya.
Saking
jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas
kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta
pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi
rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan
semuanya.
Memasuki
masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak
remaja yakni bermain musik Hawai dan melukis. Lukisan itulah yang
kemudian menjadi sumber keuangan Hoegeng untuk membiayai keluarga.
Karena layak ketahui, uang pensiunan Hoegeng hingga 2001 hanya sebesar
Rp.10.000 saja. Itu pun hanya diterima sebesar Rp.7.500.
Dalam
acara Kick Andy di MetroTV, Aditya menunjukkan sebuah SK tentang
perubahan gaji ayahnya pada 2001 silam, yang menyatakan perubahan gaji
pensiunan seorang Jendral Hoegeng dari Rp. 10.000 menjadi Rp.1.170.000
Kiranya,
hingga detik ini pernyataan Gus Dur masih relevan untuk diresapi
sekaligus menjadi hikmah pembelajaran bagi institusi kepolisian. Semoga
pula embel-embel POLRI sebagai lembaga negara terkorup saat ini, dapat
menjadi lecutan cambuk untuk mereposisi citra baik korps Bhayangkara,
misalnya dari hama wereng coklat menjadi Polisi jujur dengan pengabdian
dan kinerja ‘mengkilat’.
Kita
tunggu, apakah Polri berhasil membuktikan bahwa tudingan sebagai
lembaga negara terkorup dapat dipatahkan? “Ini (pernyataan KPK) kan
kajian, tentunya harus (dibuktikan) bahwa kita keluar dari hal-hal
tersebut, bahwa kita bukan itu (terkorup). Kita tunjukan kalau polisi
bersih,” tegas Kapolri Jenderal Timur Pradopo di Gedung DPR, Jakarta,
Senin (16/9) mengomentari pernyataan KPK yang menohok.