Koranriau.com - Belum genap
sebulan pemerintahan di bawah kepemimpinan jokowi melakukan kebijakan kurang
populis yakni menaikan harga bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut di tempuh
dengan alasan demi menyelematkan ekonomi dan menjaga agar anggaran negara tetap
sehat dan tidak mengalami inflasi. pemerintah berasumsi tidak ada opsi lain
selain harus menempuh jalan pahit tersebut. namun jika kita telaah lebih jauh
kenaikan harga BBM ini hampir selalu terjadi setiap periode pergantian
pemerintahan , kita tentu masih ingat di mana kebijakan yang menimbulakn pro
dan kontra di masyarakat tersebut juga di lakukan pada pemrintahan era megawati
dan SBY, Terhitung selama dua periode menjabat sebagai presiden, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) telah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebanyak
empat kali. Rinciannya, tiga Kali kenaikan dilakukan pada saat SBY berdampingan
dengan Jusuf Kalla (JK) dan satu kali pada masa pemerintahan SBY-Boediono,
meskipun dalam catatan terjadi pula penurunan kembali di sesuaikan dengan
penurunan harga minyak dunia.
Untuk mengobati rasa kekecewaan rakyat terhadap kebijakan kenaikan BBM
tersebut pemrintah era SBY menelurkan kebijakan yang di namakan dengan dana
bantuan langsung tunai atau BLT yang jumlahnya ratusan ribu, pada era jokowi dengan
nama lain juga menelurkan kebijakan yang di istilahkan banyak pihak dengan nama
kartu sakti yaitu kartu Indonesia pintar dan kartu Indonesia sehat yang kemarin
telahpun di sosialisasikan di bebrapa tempat di
Jakarta.
Setiap kenaikan
harga minyak yang paling merasakan dampaknya secara langsung adalah rakyat atau masyarakat
pada golongan menengah kebawah yang masih banyak hidup dalam taraf kemiskinan,
di mana penghasilan mereka yang pas-pasan mesti memutar otak untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang tak jarang jauh dari berkecukupan. apalagi Jumlah
masyarakat miskin di negeri ini menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) pada bulan Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang, sekitar
11,25%. Mereka inilah inilah yang mesti di pikirkan oleh pemerintah
agar himpitan ekonomi tidak semakin mendera. apapun rupa dan ragam bentuk
bantuan tersebut hendaknya benar-benar tepat sasaran dan bermanfaat besar bagi
masyarakat. jangan sampai mereka yang mestinya berhak menerima bantuan malah
tidak mendapatkan jika ini di biarkan tentu akan menimbulkan kerawanan
sosial di tengah-tengah masyarakat.
Melihat masih sulitnya rakyat
mendapatkan bahan bakar minyak murah, tidak ada salahnya pemerintah saat ini
mengkaji kembali kebijakan ekspor migas yang kini masih terus berlangsung.
logikanya jika kebutuhan dalam negeri sendiri belum tercukupi maka buat apa
ekspor terus di lakukan.namun menurut sebagian peneliti sebenarnya potensi migas RI
masih besar dan belum terkelola secara makasimal, terutama di Indonesia timur,
kebutuhan minyak Indonesia sangat besar dan terus meningkat di mana saat ini
mencapai 1,5 juta barel per hari. Namun produksinya hanya 796.500 barel per
hari. Sedangkan cadangan minyak ri menurut sebagian peneliti hanya mampu
bertahan lebih kurang dua puluh tahun lagi.jika ini tidak di antisipasi
sesegera mungkin oleh pemerintah maka di kawatirkan beberapa tahun kedepan
indonesia akan mengalami defisit akut terhadap migas.
Sebenarnya negara ini mempunyai
banyak potensi selain migas untuk di kembangkan sebagai energi alternatif
pengganti minyak. mengutip pendapat sebagian pakar perminyakan Indonesia selama ini
dengan jargon negara kaya akan sumber daya alamnya, hinga lupa diri untuk
memanfaatkan potensi alam yang besar tersebut demi kemaslahatan rakyat .
apalagi pengelolaan potensi alam tersebut telahpun di jamin dalam uud pasal 33
ayat 1.tinggal bagaimana mengubah minsed dari pola konsumtif beralih ke
produktif.
Maka untuk menuju negara yang berdaulat di bidang energi pemerintah
mesti membuat regulasi yang pro rakyat. Kedaulatan tersebut semakin nyata jika
pemerintah mendukung pihak swasta untuk mengembangkan energi alternatif yang
masih belum di garap secara maksimal.pemerintah mesti merebut kembali
kedaulatan energi yang selama ini masih kurang adil di rasakan oleh negara, di
mana dalam hal pengelolaan dana bagi hasil yang
di dapat pemerintah tidak
sebanding dengan keuntungan yang di dapat investor asing. Kedaulatan energi
baru terwujud jika pemerintah mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari para
pada pengelola asing sehingga dana yang besar tersebut bisa di salurkan kembali
kemsayarakat dengan kebijakan yang pro rakyat seperti pembangunan infrastrukur
dan sumber daya manusia.
Selain pemerintah mesti mengkaji kembali program subsidi
bahan bakar minyak yang selama ini banyak yang tidak tepat sasaran.di mana
banyak golongan menengah keatas yang menikmati subsidi murah yang seharusnya di
peruntukkan bagi rakyat miskin. Maka semua itu kembali lagi kepada
pemerintah sebagai pemangku kebijakan apakah tetap berkutat pada masalah
kenaikan BBM ini dari tahun ketahun atau merintis jalan menuju kedaulatan
minyak dan gas.
Oleh: muhamamd Rafi, S.Sos
Staf pengajar lembaga Education Colleg
Bermukim di Kabupaten Siak