Koranriau.com - Sumber daya alam (SDA) yang ada di
Indonesia sudah banyak dikuasai, atau diambil negara asing tanpa dinikmati oleh
rakyat Indonesia. Para pengusaha negara asing itu meninggalkan kehancuran
ekologi, kemudian polusi. Pengusaha negara asing telah banyak menguasai sumber
daya alam Indonesia dibawa keluar, sedangkan negara Indonesia hanya sebagai
penonton saja.
Selama kekayaan alam dikuasai negara
asing, negara Indonesia akan terus mengalami keterpurukan dalam pertumbuhan
perekonomian. Negara memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan,
pemanfaatan, dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus,
mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam demi
kepentingan rakyat.
Sumber daya alam tersebut adalah hal
yang paling krusial bagi negara dan mampu menguasai hajat orang banyak, karena
berkaitan dengan kemaslahatan umum dan pelayanan umum, sehingga harus dikuasai
negara dan dijalankan oleh pemerintah.
Sebenarnya jika pemerintah yang dalam
hal ini pihak eksekutif dan legislatif mempunyai sikap nasionalis dan jiwa
membangun bangsa yang tinggi maka Indonesia akan terselamatkan dari ancaman apa
saja, baik ancaman ekonomi, militer dan sebagainya. Mengapa saya katakan hal
yang demikian, karena mental – mental pejabat Indonesia telah dibutakan oleh
kekayaan sejenak yang terus mengalir kekantong pribadi, kelompok, partai
politik bahkan keluarga. Kucuran dana itu bersumber dari Asing dan Aseng yang
tengah atau sudah membangun perusahaannya dinegeri yang kaya raya ini, agar
terlepas dari interpensi negara dan leluasa merampok kekayaan yang ada
didalamnya.
Inilah beberapa kekayaan Indonesia yang
dilupakan dan sudah dijamah oleh asing :
Pertama, Negara ini punya pertambangan emas terbesar didunia dengan
kualitas emas terbaik, yang pada saat ini masih dikuras oleh PT. Freeport,
perusahaan asal Amerika Sarikat.
Kedua, Indonesia memliki cadangan gas alam terbesar didunia yang tepatnya
berada di Blok Natuna yang disedot oleh EXXON MOBIL. Sedikit kilas balik,
kontraktor yang memperoleh kesempatan mengelola Natuna selama ini adalah Exxon
Mobil. Tercatat, sejak 28 tahun yang lalu, Esso, perusahaan cikal bakal Exxon,
telah menguasai Natuna berdasarkan perjanjian kerja sama eksplorasi D-Alpha
Natuna yang ditandatangani Esso dengan Pertamina pada tanggal 8 Januari 1980.
Sekitar 5 tahun kemudian, Exxon juga memperoleh perpanjangan komitmen
pengembangan struktur AL (salah satu area di Blok Natuna) dari batas waktu 8
Januari 1986 menjadi tanggal 9 Januari 2005.
Perpanjangan kontrak diajukan
Exxon dengan alasan bahwa gas Natuna mengandung CO2 hingga 71%, sehingga sulit
dikembangkan dan dipasarkan. Pada saat itu pemerintah menyetujui permintaan
Exxon dan kontrak diperpanjang melalui “basic agreement” (sebagai amandemen PSC
1980). Dalam hal ini disepakati pula bahwa kontak akan berakhir pada 9 Januari
2005 kecuali kontraktor menyampaikan komitmennya untuk mengembangkan struktur
AL di Blok Natuna.
Ketiga, Negara ini mempunyai Hutan
Tropis terbesar di dunia. Hutan tropis ini memiliki luas 39.549.447 Hektar,
dengan keanekaragaman hayati dan plasmanutfah terlengkap di dunia. Tapi,
Separuh dari hutan itu sudah dirusak oleh perusahaan – perusahaan yang tak
bertanggung jawab baik perusahaan asing maupun dalam negeri.
Keempat, Negara ini mempunyai luatan terluas di dunia.
dikelilingi dua samudra, yaitu Pasific dan Hindia hingga tidak heran memiliki
jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki negara lain. Akan tetapi disektor
kelautan ini negara dirugikan Rp. 100 Triliun pertahun akibat penangkapan ikan
ilegal kapal – kapal asing yang sengaja dibiarkan begitu saja, karena tak tahan
suap, dan 2,1 juta kilo liter pertahun negara dirugikan akibat pemakaian BBM
untuk kapal – kapal tersebut.
Kelima, Negara ini punya jumlah penduduk terbesar ke 4 didunia. Dengan jumlah
penduduk segitu besar, harusnya banyak orang-orang pintar yang telah dihasilkan
oleh negara ini, akan tetapi pemerintah menelantarkan mereka-mereka. Sebagai
sifat harfiah yang dimiliki setiap manusia yang ingin bertahan hidup tentu saja
mereka ingin di hargai. Jalan lainnya yang mereka tempuh adalah keluar dari
negara ini dan memilih membela negara lain yang bisa menganggap mereka dengan
nilai yang pantas.
Keenam, Negara ini memiliki tanah yang sangat subur, karena memiliki banyak
gunung berapi yang aktif menjadikan tanah di negara ini sangat subur. Terlebih
lagi negara ini dilintasi garis katulistiwa yang banyak terdapat sinar matahari
dan hujan. Jika dikelola dengan baik tentu negara ini akan mendapatkan gelar
yang lebih lagi ketimbang hanya sebagai macam asia yang pernah dicapai di zaman
Soeharto.
Sebenarnya hal – hal yang diatas sudah
di atu dalam sebuah aturan yang jelas dinegara yang besar ini, akan tetapi ada
sesuatu yang masih belum dijalankan sesuai dengan diamanatkan konsitusi negara
ini, pasal 33 dan 34 diamanatkan kepada negara untuk menomorsatukan kepentingan
masyarakat bukan kepentingan konglomerat.
Sebagaimana amanat konstitusi dalam pasal 33 UUD 1945 yang
mengatakan :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas azas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini
diatur dalam undang-undang.
Demikian pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)
Undang-undang Dasar 1945.
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa “dalam pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua
dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang”. Selanjutnya
dikatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi
adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945
beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan
orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam
bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal
33.
Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang
diterapkan bersikap mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu
menjadi dapat didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik
Negara buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan
rakyat. “Mendua” karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi demikian
besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan
swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam ini.
Sedangkan pengertian “untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” menjadi sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik
oleh pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti
ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat
dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja
oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam
kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang
didapat hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. Maka ada erosi makna pasal
33 yang seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak. Contoh nyata dalam
pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan pada 579 konsesi
HPH di Indonesia yang didominasi hanya oleh 25 orang pengusaha kelas atas.
Masyarakat lokal yang masih menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan dan
ari generasi ke generasi telah berdagang kayu, harus diputuskan dari ekonomi kayu.
Karena monopoli kegiatan pemanfaatan hutan dan perdagangan kayu pun diberikan
kepada para pemegang Hak Pemilikan Hutan (HPH) ini. Monopoli kegiatan
pemanfaatan ini malah disahkan melalui seperangkat peraturan, mulai dari UU
Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1957 sampai peraturan pelaksanaannya yang
membekukan hak rakyat untuk turut mengelola hutan. Seperti pembekuan Hak
Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) bagi masyarakat lokal hanya melalui teleks
Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur.
Begitu pula dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan
Gas Bumi) dan Pertambangan Umum. Untuk kontrak bagi hasil dalam kuasa
Pertambangan Migas, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara) memang pemegang
tunggal kuasa pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi
sampai pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan
dibidang pertambangan umum, rakyat penambang emas di Kalimantan Tengah dan
Barat misalnya (Pemerintah mengistilahkan mereka sebagai PETI=Pengusaha Tambang
Tanpa Ijin), harus tergusur untuk memberikan tempat bagi penambang besar.
Dengan logika yang sama seperti di sektor kehutanan, penambang emas rakyat
dianggap tidak mempunyai teknologi dan manajemen yang baik, sehingga ‘layak’
digusur hanya dengan dalih tidak mempunyai ijin. Sedangkan penambang emas besar
dianggap akan memberikan manfaat besar karena kemampuan teknologi dan manajemen
mereka. Rakyat pendulang emas tidak mendapat tempat sama sekali dalam kebijakan
pengelolaan pertambangan di Indonesia, dan kehidupan mereka semakin buruk.
Praktek monopoli sumberdaya alam ternyata telah merambah
kesektor pariwisata. Tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata tidak bebas lagi
menuju kepantai. Praktik ini banyak terlihat di tempat-tempat wisata baru di
Indonesia, seperti di Anyer-Jawa Barat dan Senggigi-NTB.
Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan
sumberdaya alam ini tidaklah langsung ‘menetas’ pada masyarakat lokal di
sekitar sumberdaya alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan
trickle down effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan
ke pusat pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan,
kurangnya transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor pengelolaan sumberdaya
alam menjadi kabur dalam praktiknya.
Ternyata kita menerapkan Pasal 33 dengan “malu-malu
kucing”. Jiwa sosialisme ini yang memberikan hak monopoli kepada Negara,
dilaksanakan melalui pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan
keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Ini adalah sistem ekonomi
pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara ke swasta. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia mengambil jiwa
sosialisme yang paling jelek yaitu penguasaan dan monopoli negara, serta
menerapkan dengan cara otoritarian. Serta mengambil sistem ekonomi pasar bebas
yang paling jelek, yaitu memberikan keleluasaan sebesar-besarnya kepada pemilik
modal, tanpa perlindungan apapun kepada rakyat kecil.
Sedangkan di pihak lain, tantangan-tantangan baru di
tingkat global bermunculan, seperti adanya GATT (General Agreement on Trade and
tariff), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA (Asean Free Trade
Agreement) dan NAFTA (North american Free Trade Agreement). Era perdagangan
bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi. Sektor
swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana perusahaan-perusahaan besar dengan
modal kuat akan memonopoli kegiatan perekonomian dunia. Sedangkan pasal 33
secara “kagok”, kita harus mengkaji posisi negara dalam pengelolaan sumberdaya
alam dalam era perdagangan bebas yang akan melanda dunia. Karena itu mengkaji
secara mendalam dan hati-hati akan makna dan mandat pasal 33 UUD 1945 menjadi sangat
penting agar bangsa ini bisa terus ada dalam kancah pergaulan internasional
tanpa harus meninggalkan jiwa kerakyatan yang terkandung dalam konstitusinya.
Amandemen pasal 33 ayat 4 ini seakan mengingkari secara
halus ayat 1,2, dan 3-nya dimana perekonomian disusun secara prinsip demokrasi.
Jadi siapa saja dapat mengusahakan perekonomian secara bebas alias liberalisasi
perekonomian. hal ini tertuang dalam ayat selanjutnya yaitua ayt 5 diman
ketentuan lebih lanjut diatur UU. UU yang mana? lihat saja UU penanaman modal
dan UU PMA yang kental sekali nuansa liberalnya.
BIODATA PENULIS
Nama : Hidayatullah (Sulthan
Hidayatullah Al-Habsyi)
Penulis merupakan Aktivis yang aktif dibidang analisis
Ekonomi, Anti korupsi, Politik dan mengkritis kebijakan – kebijakan pemerintah
yang dianggap salah. Selain itu penulis juga merupakan mantan Ketua Bidang
Public Relation HMI – MPO Cabang Pekanbaru tahun 2011. Sampai saat ini penulis
masih tercatat mahasiswa aktif di jurusan komunikasi, fakultas dakwah dan
komunikasi uin suska riau yang dalam proses penyelesaian tugas akhir.