Rokhim, saat menunjukkan koloni ulat bulu di Dusun Mbatan, Desa Blaru, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri Rabu |
BERITA MERANTI, Jakarta — Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Kementerian Pertanian Haryono menyatakan, penyebab meningkatnya populasi ulat bulu di sejumlah daerah di Tanah Air sudah bisa disimpulkan.
"Dinamika peningkatan populasi ulat bulu penyebabnya kurang lebih sudah convergent (memusat) pada perubahan ekosistem, baik yang hayati (biotik) maupun nonhayati (abiotik)," ungkap Haryono.
Hasil penelitian Balitbang Pertanian terhadap sejumlah contoh spesies ulat bulu yang diperoleh dari berbagai lokasi menunjukkan adanya faktor penyebab yang sama, yakni perubahan ekosistem. Hal ini diperkuat oleh kajian peneliti dan akademisi bidang entomologi (serangga) dari lembaga terkait, seperti LIPI dan IPB. Para pakar serangga se-Indonesia yang dikumpulkan Balitbang Pertanian juga memberikan kesimpulan yang sama.
Perubahan ekosistem yang dimaksud, lanjut Haryono, telah menyebabkan hilangnya faktor keseimbangan alami untuk sementara waktu. "Sebagai suatu sistem, alam juga memiliki komponen-komponen yang menciptakan keseimbangan. Saat salah satu komponen mengalami gangguan, keseimbangan itu akan terganggu. Begitu juga dengan yang terjadi dengan famili Limantriidae (ulat bulu) saat ini," papar Haryono.
Fenomena meningkatnya populasi ulat bulu, faktor hayatinya disebabkan berkurangnya pemangsa alaminya, seperti burung, kelelawar, dan semut rangrang, dan musuh alaminya, misalnya parasitoid.
Berkurangnya pemangsa alami dan peningkatan ulat bulu juga dipengaruhi unsur nonhayati. Perubahan iklim global menjadi faktor utama. Akibat adanya perubahan iklim, terjadi perubahan suhu dan kelembaban udara. "Semua makhluk hidup punya kemampuan adaptasi terhadap perubahan alam yang terjadi."
"Perubahan suhu dan kelembaban udara bisa saja mengakibatkan pemangsa alami ulat bulu berkurang, sebaliknya ulat bulunya meningkat. Tapi, ini tidak akan berlangsung lama karena alam punya mekanisme penyeimbang," terang Haryono.
Menurutnya, pemangsa alami dan faktor penyeimbang hayati lainnya akan kembali berfungsi normal dan dinamika populasi ulat bulu akan kembali normal sebagaimana sebelumnya.
Ia mencontohkan, Balai Penelitian Perkebunan di Bogor yang kerap mengalami peningkatan populasi ulat bulu pada periode tertentu. Hal itu, kata Haryono, akan kembali normal secara alami. Oleh karena itu, ia meminta warga yang dilanda merebaknya ulat bulu untuk tidak terlalu terpengaruh fenomena tersebut.
Selain alasan di atas, Haryono menyebutkan sejumlah alasan lain.
Habitat ulat bulu sudah ada pada lingkungan tertentu karena serangga ini adalah bagian dari ekosistem yang memiliki manfaat bagi lingkungannya. Yang lazim terjadi adalah peningkatan populasi, bukan serangan ulat bulu. Sebab, jenis ini tidak memiliki kemampuan menyebar secara luas, sebagaimana wereng. "Kecuali jika ia terbawa secara tidak sengaja," ujar Haryono.
Ulat bulu juga tidak menyerang tanaman pangan. Yang menjadi inang alaminya adalah jenis tanaman tahunan seperti mangga. Lebih lagi, ulat bulu tidak menyebabkan inangnya mati atau terhenti berproduksi. "Karena ulat bulu tidak menyerang titik tumbuh inangnya, seperti wereng. Ia adalah jenis pemakan sejumlah jenis dedaunan," kata Haryono.
Ia menyebutkan, gangguan terhadap pohon-pohon mangga di Probolinggo, misalnya, tidak menghentikan produktivitas tanaman tersebut. "Saya memiliki foto-foto yang menunjukkan pohon-pohon mangga di sana (Probolinggo) sudah berbuah lagi," katanya.
Meski demikian, Haryono mengakui, spesies ulat bulu di Probolinggo memiliki kelebihan dalam siklus perkembangannya. "Yang lain siklusnya 28-30 hari. Kalau yang di Probolinggo lebih cepat dari itu," pungkas Haryono.