Yudi Ardiyansyah, paman Mahatir Rizki mahasiswa UMM Malang yang diduga mencadi korban pencucian otak, Senin (18/4/2011) |
BERITA MERANTI, Malang — Sebanyak sembilan mahasiswa yang masih aktif kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) diduga menjadi korban pencucian otak. Dua dari sembilan korban tersebut hingga saat ini masih belum diketahui keberadaannya.
Lima di antara sembilan mahasiswa UMM itu sudah pernah dibawa ke Jakarta untuk mengikuti prosesi pembaiatan dan disumpah. Mereka adalah Maya Mazesta, Agung Arief Perdana Putra, Mahatir Rizki, Fitri Zakiyah, dan Recki Davinci. Sementara sisanya tidak mau ikut ke Jakarta untuk dibaiat dan disumpah. Mereka adalah M Hanif, Wahyu Darmawan, Reza Yuniansyah, dan M Recky Kurniawan.
Kini sebagian besar dari sembilan mahasiswa itu sudah berada di Malang dan kembali kuliah di UMM. Sementara itu, yang
hingga kini masih hilang adalah Agung Arief Perdana Putra dan Mahatir Rizki. Kedua mahasiswa itu hilang dari Malang sejak 25 Maret 2011, terakhir berada di tempat kosnya pada 24 Maret 2011.Kasus ini terungkap setelah pihak keluarga Mahatir Rizki mencarinya ke kampus UMM dan ke kamar kosnya di Jalan Tlogomas, Gang III, di rumah dr Irma, Kota Malang.
Keluarga Mahatir yang kini mencari keberadaan Mahatir Rizki ke Kota Malang adalah Ismed Jayadi (35) dan Yudi Ardiyansyah (35). Keduanya adalah paman dari Mahatir Rizki. Setelah berhari-hari mencari keberadaan Mahatir di Malang, keduanya meminta tolong kepada Pengurus Majelis Pembina Cabang (Mabincab) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Malang.
"Melihat kondisi demikian, saya selaku Ketua Mabincam PMII Kota Malang siap membantu keluarga Mahatir Rizki itu. Namun, hingga kini masih belum ditemukan," kata Ketua Mabincab PMII Kota Malang Bagyo Prasasti, Senin (18/4/2011) malam.
Menurut Bagyo, cara memengaruhi para korban adalah dengan modus penipuan berkedok perjuangan agama. "Para korban diajak berdiskusi lalu didoktrin bahwa semua amal ibadahnya tak bisa diterima kalau tak melakukan hijrah (berpindah). Hijrahnya adalah dari warga NKRI hijrah ke Negara Islam," katanya.
Menurut Bagyo, jika tidak hijrah, tak akan pernah datang yang namanya kebangkitan Islam. "Kalau sudah hijrah akan mendapatkan surga 100 persen di akhirat nanti. Dosa-dosanya akan bersih seperti bayi yang baru lahir," ujarnya.
Apa yang dikatakan Bagyo tersebut adalah pengakuan dari korban yang pernah diajak diskusi dan sudah pernah dibaiat dan disumpah ke Jakarta. "Selain itu, juga pengakuan dari para korban yang tidak mau diajak ke Jakarta untuk dibaiat," katanya.
Salah satu korban yang tidak mau diajak ke Jakarta itu adalah M Hanif. "Saya tidak mau disuruh hijrah ke Jakatra karena semua korban itu dimintai uang minimal Rp 2,5 juta. Saya tidak mau," ujar Hanif, yang juga ikut mendampingi Bagyo dan keluarga Mahatir Rizki itu.
Hanif mengaku, sebanyak sembilan korban, termasuk dirinya itu, pertama kali yang mengajaknya adalah Maya Mazesta. Maya diajak oleh Fikri alias Feri alias Dani dan Adam alias Muhayyin. Fikri mengaku berasal dari Cilacap, sedangkan Adam mengaku dari Lampung.
Dari dua orang tersebut hingga menyebar ke banyak mahasiswa di UMM dan juga di Universitas Brawijaya. "Di Brawijaya diduga yang ikut bernama Desy, mahasiswi Kedokteran Jurusan Farmasi," kata Hanif.
Semua korban sudah pernah dimita uang oleh Fikri dan Adam. "Kalau beralasan tidak punya uang, suruh minta ke orangtuanya dan benda berharga yang dimilikinya suruh dijual untuk biaya baiat dan sumpah itu," ujar Hanif.
Modus demikian juga dialami semua korban. Uang tersebut digunakan untuk biaya baiat dan sumpah ke Jakarta. "Katanya kalau mau ikut anggota Negara Islam itu harus siap mengorbankan semua harta bendanya," ujarnya.
Sementara itu, Ismed dan Yudi, paman dari Mahatir, mengaku, Mahatir sudah meminta uang kepada kedua orangtuanya senilai Rp 20 juta. "Kalau minta uang kepada orangtuanya, mengakunya karena kehilangan laptop," katanya.
Kembali menurut Bagyo, dari seluruh korban itu, enggan untuk ditemui dan kini nomor ponselnya sudah tidak bisa dihubungi. "Hanya M Hanif ini yang bersedia membongkar kasus ini, dan paman dari Mahatir ini sudah melaporkan kasus tersebut ke Mapolresta Malang pada 12 April 2011," katanya.
Harapan keluarga Mahatir dan Agung (mahasiswa kelahiran Madura yang tinggal di Gresik bersama keluarganya) itu, keduanya bisa kembali kepada keluarga.